Salafiyah Islam

Salafi is a term often used to describe fundamentalist islamic thought.

The teachings of the reformer Abd Al-Wahhab are more often referred to by adherents as Salafi, that is, "following the forefathers of Islam." This branch of Islam is often referred to as "Wahhabi," a term that many adherents to this tradition do not use. Members of this form of Islam call themselves Muwahhidun ("Unitarians", or "unifiers of Islamic practice"). They use the Salafi Da'wa or Ahlul Sunna wal Jama'a. Wahhabism is a particular orientation within Salafism. Most puritanical groups in the Muslim world are Salafi in orientation, but not necessarily Wahhabi.

The Salafiyyah are a movement, and like the Sufis, can come from the Maliki, the Shafi, the Hanbali, or the Hanafi. But, that said, the Salafiyyah movement, is primarily confirmed to the Hanbali, and in particular the Wahhabiyyah, and their theological equivalents. The Salafiyyah movement to return Islam to it's purest roots (like the Islamic Amish!) has taken as reference points the teachings of Imam Ahmad bin Hanbal , Al Barbahaaree, or Al Laalikaa'ee, or Ash-Shaatibee, or Adh-Dhahabee, or Al Layth ibn Sa'd, or Abu Haneefah, and other scholars who adhered to the methodology of the salaf.

As-Salaf us-Salih (or briefly: the Salaf) refers to the first and best three generations of Muslims. They are the Companions (Sahabah) of the Prophet (S), their immediate followers (Tabiun), and the followers of the Tabi'in. The meaning in the Arabic language is "Those who precede, have gone before". It is a word used by the earliest scholars for "The first three generations of Muslims" and those who are upon their way in accordance with the Ahaadeeth of the Messenger Muhammad (sallAllaahu` alayhi wa sallam) which is reported in Saheeh al-Bukhaaree: The best of people/mankind is my generation, then those that follow them, then those that follow them.

The description "Salafi" is the name of a group of Muslims who try as hard as they can to imitate the Blessed Prophet in every aspect of life. Sometimes it may seem that the Salafis emphasize the laws and punishments of Islam so much that they make you feel there is no Islamic love and mercy. This is because they are sometimes very zealous in their views. A true Salafi values Tawhid, singling out Allah in all acts of worship: in supplication, in seeking aid, in seeking refuge in times of ease and hardship, in sacrifice, in making vows, in fearing and hoping and total reliance, and so on. A true Salafi actively seeks to remove shirk (polytheism) with all his capacity. They tend to be conservative on women's issues. The Salafi Da'wah is that of the Qur'an and the Sunnah. It is claimed to be the Religion of Islam - pure and free from any additions, deletions or alterations.

In the United States, Salafism has been equated by some with radicalism and terrorism in some newspaper articles, books, and public discourse. However, “Salafism” is not inherently synonymous with violence, terrorism, or radicalism. Many Salafis throughout the world are doctrinally rigid, but peaceful.

It is important to distinguish between the following groups, thought of (perhaps) as concentric circles:

1. "Jihadist Salafis" - such as the followers of al-Qaeda and like-minded local groups;
2. "Salafis" - those who believe that the imitation of the behavior of the Prophet’s closest companions should be the basis of the social order;
3. "Islamists" - a still broader category,which includes anyone who thinks that the precepts of Islam - however interpreted - should be fundamental to the political and social order; and,
4. "Discontented Muslims" - people who identify themselves as Muslims,and who are unhappy with their life prospects, with the justice of their societies,and/or with the state of the wider world.

The Salafi jihadist movement has attracted rootless and or committed internationalist militants. They fight for the jihad, seeking to re-create the Muslim ummah and shariat to build an Islamic community. Simultaneously conservatives and radical, they form a global network that has attracted Muslims from around the world to fight jihad in Kashmir, Bosnia, Chechnya, Afghanistan, and the Philippines. The salafi-jihadist movement in Central Asia and the Caucasus is more localized -- an expression of identity in areas such as Ferghana, villages in Daghestan, and upper Gharm valley. In Central Asia, the term "Wahabi" refers to fundamentalists who come from Pakistan or Afghanistan, but they are not necessarily a political movement. For example, Wahabis in Tajikistan do not recognize themselves as a political alignment. However, most Central Asian regimes use the term Wahabi more broadly to describe Islamic religious movements outside the states' control.



أصول منهج السلفي
POKOK-POKOK
MANHAJ SALAFI
Penyusun:
Syeikh Khalid bin ‘Abdurrahman al-‘Ikk
Penterjemah :
Ust. Ahmas Faiz Asifudin, Lc.
Publication : 1428, Shofar 29/ 2007, Maret 19
أصول منهج السلفي
POKOK-POKOK MANHAJ SALAFI
Penulis : Syaikh Khalid bin ’Abdurrahman al-Ikk
Penterjemah : Ust. Ahmas Faiz Asifuddin, Lc.
Sumber : Majalah As-Salafiyah, edisi I, th. I, 1415
Dikutip dari Majalah As-Sunnah, edisi XIII, th. II, 1415
© Copyright bagi ummat Islam.
Silakan menyebarkan risalah ini dalam bentuk apa saja selama menyebutkan
sumber, tidak merubah content dan makna serta tidak untuk tujuan komersial.
Artikel ini didownload dari Markaz Download Abu Salma
(http://dear.to/abusalma]
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-2 of 35-
Pendahuluan.
Sesuatu yang pasti dan tidak mengandung keraguan
sedikitpun ialah bahwasanya manhaj salaf adalah
manhaj yang bisa diterima oleh setiap generasi dari
masa ke masa. Begitulah kenyataannya di
sepanjang sejarah dan kehidupan. Hal itu
disebabkan keistimewaan manhaj salaf yang
senantiasa secara benar dan mengakar dalam
menggali masalah, akuratnya penggunaan dalil
(istidlal) berdasarkan petunjuk-petunjuk Qur'aniyah
serta kemampuannya menggugah kesadaran,
dengan mudah bisa dicapai hingga peringkat ilmu
serta keyakinan tertinggi, disamping adanya jaminan
keselamatan untuk tidak terjatuh pada kesia-sian,
khayalan, atau pada ruwetnya tali temali salah
kaprah serta benang-kusutnya ilmu kalam, filsafat
dan analogi-analogi logika.
Sesungguhnya manhaj salaf adalah manhaj yang
selaras dengan fitrah manusia, sebab ia merupakan
manhaj Qur'ani nabawi, Manhaj yang bukan hasil
kreasi manusia. Oleh karenanya manhaj ini
senantiasa mampu menarik kembali individu-individu
umat Islam yang telah lari meninggalkan petunjuk
agamanya dalam waktu relatif singkat dan dengan
usaha sederhana, apabila dalam hal ini tidak ada
orang-orang yang sengaja menghambat dan
melakukan perusakan supaya manhaj yang agung
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-3 of 35-
ini tidak sampai kepada anggota-anggota
masyarakat dan kelompok-kelomok umat.
Untuk itulah kita dapati manhaj salaf selalu cocok
dengan zaman dan senantiasa up to date bagi setiap
generasi ; itulah "jalannya kaum salaf radhiayallahu
'alaihim". Inilah manhaj yang pernah di tempuh oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para
shahabatnya. Di atas manhaj inilah para imam
mujtahid, para imam hafizh dan para imam ahli
hadits terbentuk. Dengan manhaj inipula orangorang
(dahulu) diseru untuk kembali kepada
dienullah, hingga dengan segera mereka
menyambut dan menerimanya serta masuk kedalam
dienul Islam secara berbondong-bondong.
Seperti halnya manhaj ini dahulu telah mampu
menciptakan "umat agung" yang menjadi khaira
ummatin ukhrijat lin-naas, sebaik-baik umat yang
ditampilkan untuk manusia, maka iapun akan
senantiasa mampu berbuat demikian dalam setiap
masa. Buktinya .? itu bisa terwujud setiap saat, jika
penghambat-penghambat yang sengaja diciptakan
untuk mengacaukan kehidupan manusia hingga
kehilangan fitrah lurusnya dihilangkan.
Tentu tidak diragukan lagi, bahwa ajakan untuk
mengikuti jejak as-salafu ash-shalih harus menjadi
ajakan (dakwah) yang terus menerus dilakukan.
Dakwah ini secara pasti akan tetap selaras dengan
kehidupan modern, sebab merupakan ajakan yang
hendak mengikat seorang mukmin dengan sumberhttp://
dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-4 of 35-
sumber yang murni dan melepaskan diri dari
berbagai belengu taklid yang membuat fanatik
terhadap ra'yu (pendapat), kemudian
mengembalikannya kepada Kitabullah serta sunnah
Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Katakanlah : 'Taatlah kepada Allah dan
taatlah kepada Rasul ; dan jika kamu berpaling,
maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa
yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu
sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan
kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya
kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban
Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah)
dengan terang". [An-Nuur : 54].
Jadi dakwah salafiyah selamanya bisa selaras bagi
pelaku tiap-tiap zaman, karena dakwah salafiyah
datang ketengah manusia dengan membawa
sumber-sumber minuman rohani yang paling lezat
dan murni. Dakwah salafiyah datang dengan
membawa sesuatu yang bisa memenuhi kekosongan
jiwa dan bisa menerangi relung-relung hati yang
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-5 of 35-
paling dalam. Maka dakwah salafiyah ini tidak akan
membiarkan jiwa terkuasai oleh ambisi-ambisi hawa
nafsu melainkan pasti dibersihkannya, dan tidak
akan membiarkan hati tertimpa oleh lintasan
kebimbangan sedikitpun kecuali pasti disucikannya,
sebab dakwah salafiyah ini tegak berdasarkan
i'tisham (berpegang teguh) pada kitab Allah dan
sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam,
sesuai dengan apa yang dipahami oleh as-salafu-asshalih.
Tiap pendapat orang, bisa diambil atau bisa ditolak
kecuali apa yang telah dibawakan kepada kita oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka apa
yang dibawa oleh beliau harus diambil dan tidak
boleh ditolak, sebab itu ma'shum berasal dari Allah
Ta'ala.
"Artinya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu,
menurutkan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang di wahyukan (kepadanya) ".
[An-Najm : 3-4].
Dengan manhaj yang lurus ini, kaum mukminin akan
terbebas dari tunggangan-tunggangan hawa nafsu
yang telah bertumpuk-tumpuk menunggangi
generasi demi generasi.
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-6 of 35-
Manhaj salaf telah secara jelas memasang petunjuk
bagi setiap dakwah yang betul-betul ikhlas bertujuan
memperbaharui perkara umat yang telah menjadi
amburadul, hingga dengannya bisa betul-betul
mampu memperbaharui perkara agama ini dalam
kehidupannya dan mampu mengencangkan ikatan
iman umat berdasarkan dua sumber :"Kitab Allah
dan sunnah Rasul-Nya" ditambah dengan kaidah
yang sama sekali tidak bisa dikesampingkan, yaitu "
Sesuai dengan apa yang dipahami oleh as-salafu
ash-shalih".
Setiap dakwah yang dengan dalih apapun berusaha
memperlonggar persoalan "ikatan temali yang
kokoh" di atas, berarti ia hanyalah dakwah yang
terwarnai oleh syubhat-syubhat kesesatan dan
ternodai oleh penyimpangan.
Sesungguhnya tauhidul-ibadah yang murni betulbetul
untuk Allah Ta'ala, tergantung pada rujukannya
kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu
'alaihi wa sallam. Allah Ta'ala befirman :
"Artinya : Dan taatlah kepada Allah dan taatlah
kepada Rasul. Jika kamu berpaling, maka
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-7 of 35-
sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah
menyampaikan (amanat Allah) dengan terang". [At-
Taghaabun : 12].
Dalam ayat lain Allah berfirman :
"Artinya : Maka demi Rabb-mu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan". [An-Nisaa' : 65].
Pada ayat di atas Allah Ta'ala bersumpah dengan
Diri-Nya yang Maha Suci bahwasanya tidaklah
seseorang beriman sebelum ia menjadikan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai
hakim dalam semua urusan.
Apa saja yang diputuskan oleh beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam berarti merupakan kebenaran yang
wajib untuk dipatuhi secara lahir maupun batin.
Oleh sebab itulah Allah memerintahkan untuk
menyerah (taslim) pada putusan Rasul pada firman
Allah berikutnya :
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-8 of 35-
"Artinya : Kemudian mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
(Muhammad) berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya". [An-Nisaa' : 65].
Dengan demikian, tidak boleh ada sikap enggan,
sikap menolak atau sikap menantang terhadap
segala yang disunnahkan atau diputuskan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Ta'ala
memperingatkan dalam firman-Nya.
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Allah
dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat
keras siksaan-Nya". [Al-Anfaal : 13].
Lalu, apa lagi yang lebih dikehendaki oleh orangorang
modern dewasa ini dibandingkan dengan
kemerdekaan aqidah, kemerdekaan jiwa,
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-9 of 35-
kemerdekaan individu dan kemerdekaan jama'i
(bersama-sama) yang ditumbuhkan oleh sikap
mentauhidkan Allah, baik secara rububiyah maupun
uluhiyah, kemerdekaan yang ditimbulkan oleh
tauhidul-hidayah dan manunggalnya ketaatan serta
kepatuhan hanya kepada perintah Pencipta Alam
dan perintah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa
sallam?.
Dengan tauhid yang shahih inilah, kaum mukminin
akan terbebaskan (merdeka) dari sikap mengekor
terhadap setiap orang yang mempunyai kekuatan,
dari setiap belengu hawa nafsu dan dari setiap
kesempitan taklid yang memenjarakan akal dan
mempersempit cara berpikir.
Karena keistimewaan-keistimewaan langka inilah,
maka manhaj salaf akan senantiasa selaras dengan
tuntutan segala zaman dan akan bisa diterima oleh
setiap generasi.
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-10 of 35-
Kaidah serta Pokok-Pokok Manhaj Salaf.
Kaidah-kaidah berikut ini menggambarkan tentang
prinsip-prinsip manhaj talaqi (sistem mempelajari,
mengkaji dan memahami) aqidah islamiyah, dan
tentang pokok-pokok bantahan terhadap aqidah
selain Islam melalui dalil-dalil Al-Qur'an serta
petunjuk-petunjuk nabawi.
Ketika firqah-firqah mulai bermunculan di tengah
barisan kaum muslimin dengan segala pemikirannya
yang berbeda-beda dan saling berlawanan, maka
masing-masing pelakunya berupaya melakukan
pengadaan dalil-dalil serta argumentasi-argumentasi,
-yang sebenarnya hanya membebani kebanyakan
mereka saja- untuk mempertahankan teori-teori
filsafat hasil temuan mereka masing-masing yang
mereka yakini kebenarannya. Diantara sejumlah dalil
yang mereka kemukakan ialah : mengaku-ngaku
sebagai pengikut as-salafu ash-shalih.
Oleh karena itu seyogyanyalah diadakan penjelasan
mengenai kaidah-kaidah manhaj salaf, supaya
dibedakan antara orang-orang yang sekedar
mengaku-ngaku salafi dengan orang-orang yang
sebenar-benarnya pengikut as-salafu ash-shalih.
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-11 of 35-
Kaidah Pertama
Mendahulukan Syara' atas Akal1
Kaidah yang paling pertama ialah ittiba' kepada assalafu
ash-shalih dalam memahami, menafsiri,
mengimani serta menetapkan sifat-sifat ilahiyah
tanpa takyif (bertanya atau menetapkan hakekat
bagaimananya) dan tanpa ta'wil (membuat
perubahan lafadz/maknanya), juga dalam
menetapkan persoalan-persoalan aqidah lainnya,
dan menjadikan generasi pertama sebagai panutan
dalam berpikir maupun beramal.
Jadi pertama kali Al-Qur'an dan Hadits, selanjutnya
berqudwah (mengikuti jejak dan mengambil suri
teladan) kepada para shahabat nabi, sebab di
tengah-tengah merekalah wahyu turun. Dengan
demikian, mereka (para shahabat) adalah orangorang
yang paling memahami tafsir Al-Qur'an, dan
lebih mengerti tentang ta'wil (tafsir) Al-Qur'an
dibandingkan dengan generasi-generasi berikutnya.
Mereka satu dalam hal ushuluddin, tidak berselisih
mengenainya, dan tidak terlahir dari mereka hawa
nafsu-hawa nafsu dan bid'ah2.
1 Qawa'id al-Manhaj as-Salafi, hal. 187. Dr. Musthafa Helmi, cet. Daar ad-
Da'wah, Iskandariyah
2 'Aqa'id as-Salaf, karya Dr. Ali Sami an-Nasysyar, hal.309, cet. Daar al-
Ma'arif. Iskandariyah
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-12 of 35-
Dari sanalah lahir ciri yang dominan pada pengikut
manhaj salaf. Mereka adalah ahlul hadits, para
ulama penghafal (hafidz) hadits, para perawi serta
para alim hadits yang ittiba' pada atsar. (Itulah
jalannya kaum mukminin). Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman :
" Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalannya orang-orang mukmin. Kami biarkan
ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan kami masukan ia ke dalam
Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk tempat
kembali". [An-Nisaa' : 115].
Jadi mereka berbeda dengan kaum mutakallimin
(ahlul kalam), sebab mereka (pengikut manhaj salaf)
selalu memulai dengan syara'. kitab was-sunnah,
selanjutnya mereka tenggelam dalam memahami
serta merenungi nas-nash Al-Qur'an dan sunnah
tersebut.
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-13 of 35-
Pengikut Manhaj salaf menjadikan akal tunduk
kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu
'alaihi wa sallam. Dari sini maka akal yang sehat
tidak mungkin bertentangan dengan naql (nash)
yang shahih. Apabila terjadi pertentangan, maka
nash yang shahih harus didahulukan atas akal,
sebab nash-nash Al-Qur'an bersifat ma'shum
(terjaga) dari kesalahan, dan nash-nash sunnah
bersifat ma'shum (terjaga) dari hawa nafsu.
Oleh karenanya sikap mendahulukan Al-Qur'an dan
Sunnah atas akal-akal bagi kaum salaf merupakan
pemelihara dari perselisihan serta kekacauan dalam
aqidah dan agama.
Sesuatu yang masuk akal menurut manhaj salaf
adalah sesuatu yang sesuai dengan Al-Kitab was-
Sunnah, sedangkan sesuatu yang tidak masuk akal
(majhul) adalah sesuatu yang menyalahi Al-Qur'an
was Sunnah. Petunjuk (hidayah) ialah sesuatu yang
selaras dengan manhaj shahabat, dan tidak ada
jalan lain untuk mengenali petunjuk serta pola-pola
shahabat melainkan atsar-atsar ini.3
Prinsip-prinsip aqidah bagi pengikut manhaj salaf
nampak jelas pada keimanannya terhadap sifat-sifat
dan Asma' Allah Ta'ala ; tanpa membuat
penambahan, pengurangan, ta'wil yang menyalahi
zhahir nash dan tanpa membuat penyerupaan
dengan sifat-sifat mahluk, tetapi membiarkannya
3 Naqdhu al-Mantiq, Ibnu Taimiyah, hal. 309
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-14 of 35-
sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam
Kitabullah Ta'ala serta sunnah Nabi-Nya shallallahu
'alaihi wa sallam. Sedangkan kaifiyah (hakikat
bagaimana)nya mereka kembalikan kepada Dzat
yang telah memfirmankannya sendiri. 4
Melalui konteks ini kita mesti paham cara-cara salaf
dalam menjadikan akal tunduk kepada nash, baik
nash itu berupa ayat Al-Qur'an maupun berupa
sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan
sebaliknya. Berbeda dengan manhaj kaum ahlul
kalam dari kalangan Mu'tazilah, Maturidiyah dan
Asy'ariyah yang lebih mendahulukan akal daripada
nash. Sedangkan nash mereka ta'wil kan hingga
sesuai dengan akal.
Tentu saja hal ini berarti memperkosa nash agar
sesuai tuntutan akal. Padahal mestinya hukumhukum
akal-lah yang wajib diserahkan keputusannya
kepada nash-nash al-Kitab maupun Sunnah. Jadi,
apa saja yang ditetapkan oleh Al-Qur'an dan
Sunnah, kitapun harus menetapkannya. Sedangkan
apa saja yang dikesampingkan oleh keduanya,
kitapun harus menolaknya.
Sesungguhnya, ta'wil menurut kaum ahlu kalam dan
kaum filosofis pada umumnya mengandung tuntutan
untuk menjadikan akal sebagai sumber syara',
mendahului nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh
karena itu jika terlihat ada pertentangan antara nash
4 Naqdhu al-Mantiq, Ibnu Taimiyah, hal. 3
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-15 of 35-
dengan akal, maka mereka akan mendahulukan
akal, dan akan segera bergegas melakukan ta'wil
terhadap nash tersebut hingga sesuai dengan
tuntutan akal. Akan tetapi manhaj salaf
kebalikannya, syara' didahulukan dan akal mengikut
kepada syara'.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah menyebutkan
bahwa kaum salaf menyerahkan hukum kepada
ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi. Mereka
merasa cukup dengan nash-nash tersebut. Mereka
jadikan pemahaman-pemahaman akalnya patuh
pada nash-nash itu, sebab "akal" menurut Kitabullah
dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam
ada sesuatu yang bisa ada jika ada pemilik
(pelaku)nya. "Akal" bukanlah dzat yang bisa berdiri
sendiri seperti anggapan kaum filosof.5
Akal tidak mampu meliputi kenyataan-kenyataan
yang dijelaskan oleh Kitabullah maupun sunnah
Rasul-Nya shalallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan
akalpun tidak kuasa untuk meliputi segenap hakikat
alam kongkrit yang telah ditemukan berdasarkan
penemuan-penemuan ilmiah akal itu sendiri. Maka
bagaimana mungkin akal akan dapat menjangkau
kenyataan alam ghaib ?.
Oleh sebab itulah, wajib hukumnya untuk pasrah
kepada nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah. Wajib
mengimani segala apa yang dinyatakan di dalam Al-
5 Majmu' Fatawa, jilid 9, hal. 279
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-16 of 35-
Qur'an dan As-Sunnah, baik yang menyangkut alam
ghaib maupun alam nyata. Lebih khusus lagi ayatayat
yang menyangkut sifat-sifat ilahiyah, maka kita
wajib mengimaninya tanpa ta'wil (mengubah makna
atau lafalnya) dan tanpa ta'thil (menolak hakikatnya
atau menafikannya).
******
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-17 of 35-
Kaidah Kedua
Tidak Mempertentangkan Nash-Nash Wahyu
Dengan Akal.
Semua firqah ahli kalam yang suka menakwilkan
sifat-sifat Allah, ternyata satu sama lain saling
bertentangan, dan secara diametral pendapatpendapatnya
saling berlawanan sama sekali.
Untuk membuktikan hal itu, kita tidak perlu pergi
terlalu jauh, lihat saja misalnya, di dalam kitab Kubra
al-Yaqiniyat al-Kauniyah bagaimana cara ahlu kalam
yang tercermin pada ta'wil nya terhadap sifat istiwa'
dalam firman Allah Ta'ala.
"Artinya : (Yaitu) Rabb Yang Maha Rahman, yang
bersemayam (ber-istiwa) di atas "Arsy". [Thaha : 5].
Dalam kitab ini, istiwa' di ta'wil-kan dengan taslith alquwwah
wa as-sulthan (menangnya kekuatan serta
kekuasaan-Nya)".
Kita perhatikan ta'wil itu berbeda bahasanya dengan
ta'wil-nya kaum Asy'ariyah terhadap istiwa' tersebut
yaitu istiila' (berkuasa), ta'wil yang juga dilakukan
oleh kaum Jahmiyah dan Mu'tazilah. Namun model
ta'wil dalam buku Kubra al-Yaqiniyat itu tidak
menggunakan istilah istiila, melainkan dengan istilah
Taslith al-Quwwah wa as- Sulthan.
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-18 of 35-
Tentu ini merupakan kata-kata yang bejat, sebab
konsekwensi dari kata-kata itu menunjukan bahwa
'Al-Arsy tidak masuk dalam kekuasaan Allah,
sebelum Allah ber- 'istiwa (bersemayam) di atasnya.
Penulis buku tersebut (Said Ramdhan al-Buthi, -pen-
) bisa terperosok pada pemahaman yang rusak.
Hal ini dikarenakan ia tidak ridha terhadap apa yang
ditempuh oleh kaum salaf dalam mengimani sifat
'istiwa. Walaupun sebenarnya hanya
mengemukakan pernyataan madzhab khalaf (lawan
salaf, pen), yakni orang-orang Asy'ariyah. Akan
tetapi kenyataannya ia setuju dengan madzhab
tersebut. Hal itu terbukti dengan pernyataannya :
"Itulah makna yang jelas, yang bisa dimengerti
menurut bahasa Arab"6
Selanjutnya ia melegitimasi manhaj kalam dengan
pernyataannya sebagai berikut : "Mereka
menafsirkan al-Yad (tangan) dalam ayat lain dengan
"kekuatan dan kemurahan", al-'Ain (mata) dengan
"pertolongan dan pemeliharaan", dan menafsirkan al-
Ishba'ain (dua jari-jari) yang terdapat dalam hadits
riwayat Muslim dalam kitab Shahih-nya No. 2654,
6 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Dar'u Ta'arudh al-Aql wa an-Naql, jilid
5/382, mengatakan :"Adapun ta'wil dalam arti 'mengalihkan satu lafal dari
kandungan makna yang rajih (benar) menuju kemungkinan makna yang
marjuh (tidak rajih/tidak benar), seperti 'istiwa menjadi istaula, dan seterusnya
maka hal ini menurut kaum salaf dan para imam jelas merupakan kebatilan.
Hakikatnya tidak ada sama sekali, bahkan hal ini meruapak tahrif (mengubah)
kata-kata dari yang semestinya dan termasuk ilhad (ingkar) terhadap Asma'
Allah serta ayat-ayat-Nya."
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-19 of 35-
dengan "kehendak dan kekuasaan". Begitulah
seterusnya. Mereka merubah-rubah sifat-sifat Allah
Ta'ala tanpa disertai sebuah dalilpun, baik dari al-
Qur'an maupun as-Sunnah.
Berdasar inilah, maka salah satu kaidah manhaj
salaf ialah menolak ta'wil model ahlu kalam. Dan
cukuplah bagi para pengikut manhaj salaf satu
ketetapan, yaitu ilitizam kepada perintah Allah Ta'ala
berikut :
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan
bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui". [Al-
Hujuraat : 1].
Oleh sebab itulah, tiada dijumpai seorangpun di
antara mereka yang mempertentangkan nash-nash
wahyu dengan akal. Apabila mengetahui suatu
perkara dari ajaran agama, maka ia akan melihat
kepadanya yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-
Nya. Dari sanalah ia belajar, dengannyalah ia
berkata, mengenainyalah ia merenung dan berpikir
dan dengannyalah ia berdalil.
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-20 of 35-
Berkebalikan dengan manhaj ini, di sana di ujung
seberang yang sama sekali berlawanan, berdiri
tegaklah para penganut manhaj ilmu kalam yang
mempercayakan sandarannya kepada ra'yu
(pendapatnya). Sesudah ra'yu, mereka
memperhatikan al-Qur'an dan as-Sunnah. Apabila
didapati nash-nash tersebut bersesuaian dengan
akal, mereka ambil nash-nash itu. Tetapi, jika
mereka dapati bertentangan, maka akan mereka
singkirkan atau mereka otak-atik dengan ta'wil.7
Ta'wil Bisa Dibenarkan bila Maksudnya Tafsir
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan8: "Sesungguhnya lafal ta'wil menurut
pemahaman orang-orang yang suka bertentangan
(yakni Ahlul Kalam), bukanlah ta'wil yang dimaksud
dalam At-Tanzil (wahyu yang diturunkan). Bahkan
bukan pula yang dikenal oleh para ulama tafsir
terdahulu.
Sesungguhnya para ulama tafsir Al-Qur'an terdahulu
memahami lafal ta'wil dengan maksud tafsir. Ta'wil
semacam ini dapat diketahui oleh ulama yang
mengetahui tafsir Al-Qur'an. Oleh sebab itulah Imam
Mujahid, imamnya ahli tafsir dan murid Ibnu Abbas,
pernah menanyakan seluruh tafsir Al-Qur'an kepada
Ibnu Abbas, dan Ibnu Abbas pun telah menjelaskan
7 Risalah al-Furqan Baina al-Haq wa al-Bathil, Ibnu Taimiyah, hal.47
8 Dar'u Ta'arudh Al-Aql wa An-Naql, Ibnu Taimiyah, jilid 5/381-383, Tahqiq. Dr
Muhammad Rosyad Salim
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-21 of 35-
tafsir seluruhnya. Ketika beliau (Mujahid)
mengatakan : "Sesungguhnya orang-orang yang
benar-benar ahlil-ilmi (Ar-Rasikhum fi Al-'Ilmi) jika
memahami tentang ta'wil, maka maksud ta'wil itu
adalah tafsir yang telah disebutkan Ibnu Abbas
padanya".
Adapun lafal ta'wil menurut At-Tanzil (wahyu yang
diturunkan), maknanya adalah "hakikat", yakni
sesuatu yang menjadi asal sebuah pembicaraan.
Dan itu sama dengan hakikat-hakikat yang telah
diberitakan oleh Allah Ta'ala, misalnya ta'wil tentang
hari akhir yang telah diberitakan oleh Allah ialah
kejadian yang akan terjadi di hari akhir itu sendiri
(hakikat kejadiannya). Ta'wil tentang apa yang Dia
beritakan mengenai Diri-Nya itu sendiri yang Maha
Suci lagi tersifati dengan sifat-sifat Maha Tinggi.
Ta'wil (dalam arti hakikat) inilah yang tidak dapat
diketahui kecuali oleh Allah Ta'ala sendiri.
Oleh karena itulah kaum salaf mengatakan :"Istiwa'
telah dimaklumi (maknanya), sedangkan bagaimana
hakikatnya itu majhul (tidak dapat diketahui)". Untuk
itu kaum salaf mengistbatkan (menetapkan)
pengetahuan tentang Istiwa'. Inilah yang disebut
ta'wil dalam arti tafsir, yaitu memahami makna yang
dimaksud oleh suatu pembicaraan, sehingga dapat
merenungi, memahami dan mengerti.
Sedangkan perkataan mereka "Al-Kaif (bagaimana
hakikatnya) adalah majhul (tidak dapat diketahui).
Hal ini adalah ta'wil yang hanya bisa diketahui oleh
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-22 of 35-
Allah semata, yaitu tentang hakikat yang tiada satu
mahluk pun dapat mengetahuinya".
Pada tempat lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata pula9 : " ...... sesungguhnya
yang dimaksud dengan lafal ta'wil dalam Al-Qur'an
ialah hakikat suatu perkara, meskipun hakikat itu
sama dengan makna yang ditunjukan dan dipahami
dari zhahirnya lafadz".
Terkadang pula yang dimaksud dengan ta'wil adalah
penafsiran dari suatu perkara serta penjelasan
maknanya, walaupun penjelasan makna itu sama
dengan lafal perkataan tadi. Dan istillah ta'wil dengan
makna kedua inilah yang menjadi istilahnya mufassir
terdahulu seperti Mujahid dan lain-lain. Tetapi istilah
ta'wil kadang juga dimaksudkan dengan pengalihan
suatu lafal dari kandungan makna yang rajih menuju
kemungkinan makna yang marjuh disebabkan ada
suatu dalil yang mengiringinya.
Pengkhususan istilah ta'wil dengan makna terakhir
ini hanya ada pada pembicaraan kaum muta'akhirin.
Adapun para shahabat, tabi'in dan semua imamimam
kaum muslimin, seperti imam yang empat dan
imam yang lain, mereka tidak menghususkan istilah
ta'wil tersebut untuk makna yang terakhir itu, tetapi
yang mereka kehendaki dengan ta'wil adalah makna
yang petama dan kedua.
9 Dar'u Ta'arudh Al-Aql wa An-naql. Ibnu Taimiyah, jilid I/9
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-23 of 35-
Oleh karena itulah, sekelompok orang-orang
muta'akhirin berprasangka bahwa lafal (kalimat)
ta'wil pada Al-Qur'an atau Hadits hanya bermakna
khusus menurut pengertian terakhir tersebut, seperti
dalam firman Allah :
"Artinya : ...Dan tidak ada yang mengetahui ta'wilnya
melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata : "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyabihat. Semuanya itu dari sisi Rabb
kami". [Ali-Imran : 7].
Mereka meyakini bahwa waqaf (bacaan berhenti)
pada ayat diatas adalah pada :
"Artinya : .. Dan tidak ada yang mengetahui ta'wilnya
melainkan Allah".
Sebagai akibat dari prasangka mereka tersebut,
mereka terjebak dalam keyakinan bahwa ayat-ayat
seperti di atas dan hadits-hadits Nabi, mempunyai
makna-makna yang berlainan dengan makna yang
langsung bisa dipahami dari lafal nash tersebut.
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-24 of 35-
Sementara itu makna yang dikehendaki dari nash
tersebut tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah saja.
Bahkan Malaikat yang turun membawa Al-Qur'an
yakni Jibril, dan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wa sallam pun tidak bisa mengetahui maknamaknanya.
Begitu pula nabi-nabi lain, para shahabat
serta para tabi'in.
Menurut keyakinan mereka, bahwa Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam ketika membaca firmanfirman
Allah berikut :
"Artinya : (Yaitu) Rabb Yang Maha Rahman, yang
bersemayam (ber-istiwa) di atas 'Arsy". [Thaha : 5].
"Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang
baik". [Faathir : 10].
"Tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka". [Al-Maidah
: 64].
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-25 of 35-
Dan ayat-ayat lainnya, beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak mengerti makna-maknanya. Bahkan
(menurut persangkaan mereka) beliau sendiripun
tidak memahami kata-katanya sendiri ketika
bersabda :
"Artinya : Rabb kita turun ke langit dunia pada tiaptiap
malam ...." [Hadits Riwayat Bukhari, Juz 2: 25].
Bahkan makna yang langsung dapat dimengerti dari
nash di atas, tidak dapat dimengerti kecuali oleh
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Selanjutnya mereka
beranggapan bahwa cara-cara semacam ini adalah
caranya kaum salaf".
Kemudian pada tempat yang lain lagi, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata10 : "Ayat-ayat yang disebut
oleh Allah sebagai ayat-ayat mutasyabihat yakni
yang tidak dapat diketahui ta'wil-nya kecuali oleh
Allah ; yang dimaksud "tidak dapat diketahui kecuali
oleh Allah" hanyalah pengetahuan tentang tafsir dan
maknanya. Sebagaimana hanya ketika Imam Malik
rahimahullah ditanya tentang firman Allah :
"Artinya : (Yaitu) Rabb Yang Maha Rahman, yang
bersemayam (ber-istiwa') di atas 'Arsy". [Thaha : 5].
"Bagaimana Ar-Rahman ber-istiwa' (bersemayam) ?"
Beliau menjawab : "Al-Istiwa' telah dipahami
(maknanya), sedangkan Al-Kaif (bagaimana hakikat
istiwa' [bersemayam] tidak dapat diketahui (majhul).
Beriman terhadap istiwa'-Nya wajib dan bertanya
10 Dar'u Ta'arudh Al-Aql wa An-naql. Ibnu Taimiyah, jilid I/14-15
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-26 of 35-
tentang "Bagaimana (hakikat)nya adalah bid'ah".
Demikian pula sebelumnya, Rabi'ah dan Ibnu
'Uyainah pun telah memberikan jawaban serupa
dengan jawaban Imam Malik.
Imam Malik telah menjelaskan bahwa makna istiwa'
telah dipahami, sedangkan kaifiyah (cara istiwa-Nya)
adalah majhul (tidak dapat dimengerti).
Dengan demikian kaif (hakikat) yang majhul inilah di
antara arti ta'wil yang tidak dapat dimengerti
melainkan oleh Allah semata. Adapun makna yang
dapat dipahami (diketahui) baik istiwa maupun yang
lainnya, maka itu adalah ta'wil yang bermakna tafsir
yang telah dijelaskan maknanya oleh Allah dan
Rasul-Nya.
Allah Ta'ala telah memerintahkan supaya kita
menghayati Al-Qur'an dan telah memberitakan
bahwa Dia telah menurunkan Al-Qur'an untuk
dipahami. Sedangkan penghayatan serta
pemahaman tidak mungkin akan bisa dilaksanakan
melainkan jika si pembaca menjelaskan maksud
pembicaraannya. Adapun apabila seseorang
berbicara dengan lafal-lafal yang mengandung
banyak makna, lalu dia menjelaskan maksudnya,
tentu pembicaraannya tidak mungkin bisa dipahami
dan dihayati.
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-27 of 35-
Kaidah Ketiga:
Mencari Pembuktian Berdasarkan Ayat-ayat
Al-Qur'an dan Hadits-hadits Nabi.
Mencari Pembuktian Menurut Pola-pola Al-
Qur'an.
Sesungguhnya Al-Qur'an Al-'Azhim mempunyai pola
tersendiri yang khusus untuk mencari pembuktian.
Barang siapa yang menempuh pola ini, niscaya ia
sampai kepada kebenaran hakiki yang meyakinkan.
Diantara pola Al-Qur'an yang paling utama dalam
mencari pembuktian ialah memperhatikan tandatanda
kebesaran Allah yang ada pada langit dan
bumi, dan upaya menyingkap rahasia-rahasia
mahluk.
Melalui ayat-ayat-Nya yang mulia. Allah Subhanahu
wa Ta'ala telah memerintahkan agar manusia
berpikir tentang penciptaan langit dan bumi. Di
antara firman Allah :
"Artinya : Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya kepadamu supaya kamu berpikir " [Al-Baqarah :
219].
"Artinya : (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
dalam keadaan berdiri dan duduk, dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata) : "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-28 of 35-
menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa api Neraka". [Ali-
Imran : 191].
"Artinya : Allah-lah yang meninggikan langit tanpa
tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia
bersemayam di atas 'Arsy dan menundukkan
matahari dan bulan masing-masing beredar hingga
waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan
(mahluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-
Nya) supaya kamu meyakini pertemuanmu dengan
Rabb-mu. Dan Dialah Rabb yang membentangkan
bumi, menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai
padanya. Dan menjadikan padanya semua buahbuahan
berpasang-pasangan, Allah menutupkan
malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah)
bagi kaum yang berpikir. Dan di bumi ini terdapat
bagian-bagian yang berdampingan, dan kebunkebun
anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma
yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami
dengan air yang sama. Kami melebihkan
sebahagian tanaman itu atas sebahagian yang lain
tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah)
bagi kaum yang berakal". [Ar-Ra'du : 2-4].
"Artinya : Katakanlah :"Perhatikanlah apa yang ada
di langit dan di bumi..." [Yunus : 101].
Ayat-ayat yang memerintahkan untuk memikirkan
kejadian alam semesta ini banyak. Ayat-ayat yang
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-29 of 35-
akan membangkitkan akal, menggerakkan pikiran,
mengundang perhatian dan memotivasi perenungan
serta penghayatan.
Semua itu termasuk wasilah (sarana) terkuat untuk
sampai pada pemahaman terhadap hakikat
kebenaran hingga hasilnya akan memperkokoh iman
dan menanamkan keyakinan yang dalam terhadap
Al-Khalik yang maha Agung. Sayangnya pola Al-
Qur'an ini diharamkan oleh pengikut manhaj ahlulkalam.
Mereka tidak mau diikat dengan pola-pola Al-
Qur'an dalam memperkokoh keimanan dan
memantapkan keyakinan.
Sesungguhnya, berkaitan dengan cara memahami
masalah aqidah, dalam hal ini terdapat dua manhaj
yang saling berlawanan :
1. Manhaj Qur'ani Nabawi, yaitu manhaj-nya
para Rasul dan para Nabi.
2. Manhaj Falsafi 'Aqlani (memperturutkan
filsafat dan akal), yaitu manhaj-nya kaum
filosof dan kaum ahlu kalam.
Manhaj Qur'ani -sebagaimana dapat dilihat- akan
menghentikan akal manusia pada hakikat
kebenaran itu tuntas dan tidak akan guncang
keraguan sedikitpun setelah datangnya iman dan
pembenaran. Manhaj ini dengan segala keluhuran
serta kekuatannya adalah manhaj yang mudah,
memberikan jaminan hasil dan juga akan menambah
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-30 of 35-
akal semakin terbuka wawasan serta daya
pandangnya.
Sedangkan manhaj falsafi adalah manhaj yang
mempunyai jalan berliku-liku yang ruwet,
memusingkan akal dengan persoalan-persoalan
yang membingungkan, mebebani pemikiran dengan
analogi-analogi logika yang membosankan dan amat
potensial untuk menjerumuskan akal pikiran kedalam
lubang-lubang kesalahan yang merupakan jebakan
yang dipasang oleh para penentangnya.
Oleh sebab itulah, persoalan aqidah bagi kaum
filosof dan orang-orang yang terpengaruh oleh
mereka dari kalangan ahlu kalam, merupakan
sebuah kebingungan yang menimbulkan sangkaansangkaan,
serta membingungkan akal pikiran.
Persoalan-persoalan aqidah yang berdasarkan
manhaj mereka itu tidak memberikan ilmu dan tidak
menambahkan keyakinan apapun. Ia adalah sebuah
jalan antara al-haq dengan kebatilan yang
bercampur aduk di dalamnya.
Adapun pola-pola ahlul kalam, sebenarnya
bersumber dari pola-pola filsafat, walaupun dalam
prilakunya agak berbeda, sebab kaum filosof tidak
mempercayai wahyu dan kenabian, sehingga
mereka benar-benar bersandar pada akalnya
semata. Sedangkan ahlul kalam, mereka masih
mempercayai wahyu dan kenabian, hanya saja
mereka berupaya untuk menjadikan wahyu tunduk
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-31 of 35-
pada akal. Mereka tidak mau menundukkan akalnya
kepada nash-nash wahyu.
Menurut ahlul kalam, landasan utama dalam polanya
adalah mendahulukan akal atas syara'. Oleh karena
itulah mereka berkonsentrasi untuk menta'wilkan
nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah menurut
kemauan akal mereka dengan bertumpu pada debat
dan logika.
Jadi cara-cara mereka mirif kaum filosof. Cara-cara
itu tidak akan memberikan jaminan hasil (yang benar
-red) disebabkan berbaurnya khayalan-khayalan akal
dalam berbagai pembahasan serta kajian
permasalahannya. Dengan demikian, sebagai (hasil)
akhirnya adalah kebigungan menghadapi tantangan
keragu-raguan dan sama sekali tidak layak untuk
memutuskan permasalahan iman dan i'tiqaad.
Adapun pola kenabian, adalah pola Al-Qur'an itu
sendiri. Tetapi, dengan uslub (cara pemaparan) yang
sedikit berbeda dilihat dari segi kemudahan dan
banyaknya. Namun, memiliki kekuatan petunjuk,
kekokohan hujjah dan kedalaman keyakinan. Pola
kenabian ini mempunyai pengaruh nyata dan jelas
dalam memahamkan aqidah yang benar, dalam
menyingkirkan setiap syubhat yang mengacaukan
pemikiran disebabkan pengaruh bisikan-bisikan
setan, dalam menanamkan keyakinan pada jiwa dan
dalam menyebarluaskan sinar keimanan ke dalam
relung-relung hati.
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-32 of 35-
Kaidah Keempat.
Berpijak Berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah
dengan Mengutamakan Pemahaman Ulama Salaf
dan Menjadikan Akal Mereka Tunduk kepada
Nash-Nash Keduanya.
Kaidah ini memiliki peran besar dalam pokok-pokok
manhaj salaf. Inilah kaidah yang menjadi pemisah
antara Ahlu Sunnah dengan Ahlul Bid'ah, walaupun
semuanya mengaku mengikuti Al-Kitab dan As-
Sunnah.
Pengikut manhaj ahlul-kalam berseru : "Kami ittiba'
kepada Al-Kitab dan As-Sunnah". Pengikut manhaj
sufi juga berseru : "Kami ittiba' kepada Al-Kitab dan
As-Sunnah". Pengikut manhaj salaf pun berseru :
"Kami ittiba' kepada Al-Kitab dan As-Sunnah".
Para pengikut manhaj ahlul-kalam memang
mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah, akan tetapi
mereka menjadikan nash-nash Al-Qur'an dan Al-
Hadits tunduk pada tuntutan akal pikiran mereka.
Dengan demikian mereka sebenarnya telah
meninggalkan manhaj Al-Kitab dan As-Sunnah.
Para pengikut manhaj sufiyah juga mengambil Al-
Kitab dan As-Sunnah, namun mereka menjadikan
nash-nash keduanya tunduk kepada pemahamanpemahaman
tertentu dalam kaitannya dengan
penafsiran tentang hidup dan zuhud, kemudian
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-33 of 35-
berpaling dari kenikmatan-kenikmatan hidup.
Dengan demikian mereka pun meninggalkan manhaj
Al-Kitab dan As-Sunnah.
Adapun para pengikut manhaj salaf, merekalah
orang-orang yang benar-benar berpijak berdasar Al-
Kitab dan As-Sunnah dengan mengutamakan
pemahaman ulama salaf dan menjadikan akal
mereka tunduk kepada nash-nash keduanya.
Mereka menyesuaikan kehidupannya sesuai dengan
tuntunan Al-Kitab dan As-Sunnah dan membatasi
pandangan (teori) mereka tentang hidup serta
kenikmatannya selaras dengan pengarahan Al-Kitab
dan As-Sunnah.
Jadi merekalah orang-orang yang sesuai dengan Al-
Kitab dan As-Sunnah, baik aqidah, manhaj, syari'ah
maupun perilakunya. Dalil dari standard ini telah
ditetapkan berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Berikut ini adalah penjelasan tentang manhaj
shahabat yang telah mendapat ridha dari Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Al-Amin
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Pertama kali dalam menetapkan manhaj shahabat
tersebut, kita mulai dengan firman Allah Tabaraka wa
Ta'ala tentang para shahabat Rasul Shallallahu
'alaihi wa sallam.
"Artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang beriman dengannya adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang
http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari
-34 of 35-
sesama mereka ; kamu lihat mereka ruku' dan sujud
mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tandatanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas
sujud ......" [Al-Fath : 29]
"Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi pertamatama
(masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin
dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka
pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya ; mereka kekal di dalamnya selamalamanya.
itulah kemenangan yang besar ". [At-
Taubah : 100].
Jadi mereka ridha terhadap nikmat yang telah Allah
berikan kepada mereka berupa Al-Qur'an dan
berupa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah
pun telah ridha kepada mereka disebabkan apa yang
telah mereka kerjakan. Yakni, berupa ibadah dan
ketaatan yang hanya ditujukan kepada Allah semata,
ittiba' kepada Rasul-Nya yang menyebarluaskan
dakwah Islamiyyah serta penyebaran sunnah
nabawiyyah dan pengamalannya.
Wallahu 'alam bish-shawaab

0 komentar: